Menurut badan kesehatan dunia (WHO) Biosimilar adalah istilah yang dipakai untuk obat biologis yang memiliki karakteristik yang mirip dengan obat biologis yang sudah disetujui (originator) atau dapat dibuat ketika masa paten obat originatornya sudah habis, namun tidak identik.
Obat biologis merupakan salah satu zat aktif yang terbuat atau diperoleh dari sel-sel hidup melalui proses biologi sebagai contoh adalah insulin dapat diproduksi oleh mahluk hidup (seperti bakteri dan yeast) melalui teknik rekayasa genetika. Kemudian efek produk biologis ini diyakini lebih mudah dicerna tubuh karena terbuat dari bahan-bahan makhluk hidup.
Pekembangan penelitian dalam bidang bioteknologi, memungkinkan diproduksinya biosimilar dari beberapa sel hidup atau sistem ekspresi (host) dengan memanfaatkan teknologi DNA rekombinan. peran dna dan rna dalam sintesa protein bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
Sistem-sistem ekspresi tersebut diantaranya: bakteri, yeast, tanaman, serangga dan mammalia. Albumin, Interferon (Roferon A dan Intron A), Insulin (Insulin glargin) dan Eritropoietin (Epoitin alfa) adalah beberapa contoh produk biosimilar yang telah beredar di dunia industri farmasi.
Untuk biosimilar asli ada 3 pedoman penting yang harus diingat dalam proses biosimilar, yaitu kualitas (dilihat dari makhluk hidup yang dikembangkan), keamanan (melalui uji pre klinis dan klinis) dan efikasinya (pemanfaatan dari obat itu sendiri),” ujar Prof. dr. Iwan Dwiprahasto MMedSc, PhD Ketua Pengurus Besar IKAFI (Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia).
Menurutnya, produk-produk biologi dibuat melalui proses produksi yang sangat rumit dan komplek sehingga sulit untuk menghasilkan produk yang sama persis.
“Produk biosimilar tidak bisa disebut sebagai produk generik dan penggunaan istilah biogenerik juga tidak tepat,” katanya. Melihat gejala duplikat biosimilar yang makin marak, sejumlah negara kini menerapkan landasan hukum yang sangat jelas. Di Asia sudah ada 3 negara yang telah mempunyai pedoman terhadap obat biosimilar ini yaitu, Malaysia, Singapura, serta Jepang.
Indonesia juga telah menyusun pedoman tersebut bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan IKAFI. Pedoman ini nantinya akan digunakan sebagai proses penilaian bagi industri farmasi yang mengajukan obat produk biosimilar dan juga untuk melindungi konsumen. manfaat biologi di bidang farmasi bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
Profesor Iwan menjelaskan saat ini ada sekitar 14.000 obat generik yang beredar di Indonesia. Sedangkan jumlah obat biosimilar di dunia mencapai 168 obat namun yang ada di Indonesia hanya 14 obat saja. Obat biosimilar ini digunakan untuk penyakit darah, kanker dan hormon pertumbuhan.
Proses dalam pembuatan biosimilar harus sangat hati-hati, karena menggunakan protein, DNA, atau sel dari makhluk hidup, karena jika salah sedikit bisa berbahaya. Untuk itu dibutuhkan pedoman yang khusus tentang biosimilar dan harus dibandingkan dengan originatornya.
“Salah satu tantangan terbesar dalam produk biosimilar adalah menjamin keamana dan manfaat bagi pasien, memastikan bahwa produk ini memiliki profil yang sama dengan produk originalnya dan dilakukan pengujian yang menyeluruh, bukan sekedar studi terbatas,” ujar Guru Besar Farmakologi UGM ini.
Di Indonesia obat biosimilar mulai masuk sekitar 4-5 tahun yang lalu. Harga obat biosimilar memang mahal, tapi bisa saja beberapa obat generik digantikan oleh obat biosimilar karena lebih safety, lebih berkualitas dan manfaatnya.
Jika obat biosimilar yang ingin masuk maka harus dibandingkan dengan obat serupa yang telah diizinkan beredar, jika belum ada maka harus dibandingkan dengan originatornya.