5 Daur Hidup Fasciola Hepatica Secara Berurutan

Fasciola hepatica atau biasa di sebut cacing hati merupakan salah satu jenis dari cacing pipih parasit. Sifatnya yang parasit yaitu memanfaatkan inang untuk dapat melangsungkan dan melanjutkan siklus hidupnya. Makhluk hidup yang diparasit ini umumnya disebut sebagai inang.

Cacing hati dikatakan demikian terkait dengan mekanisme parasitnya yang berdiam diri atau menghuni di organ hati dari tiap inangnya. Sapi, kerbau, kambing, domba dan hewan ruminansia (mamalia) merupakan inang utama dari cacing hati ini. Selain menginfeksi pada hewan ternak terutama ruminansia juga dapat menular atau menginfeksi pada manusia. (baca juga artikel hewan vertebrata dan invertebrata)

Cacing hati ini dalam daur hidupnya memiliki inang alternatif atau bisa juga dikatakan sebagai inang perantara untuk menuju ke inang utamanya yaitu pada sejenis siput bercangkang seperti pada Lymnaea spp., siput ini diketahui resisten dari infeksi F. hepatica. Selain pada siput bercangkang,  F. hepatica  juga memiliki tempat alternatif sampai berpindah ke inangnya yaitu pada tumbuhan air atau tumbuhan rerumputan yang berhabitat basah. Cacing hati juga mampu menginfeksi manusia melalui perantara dari hati sapi, kambing dan domba yang telah terinfeksi cacing hati sebelumnya. Infeksi cacing hati pada manusia umumnya akan mengakibatkan kelainan pada hati manusia. (baca juga artikel daur hidup cacing hati)

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing hati secara klasifikasi makhluk hidup termasuk ke dalam klasifikasi animalia, dengan filum Platyhelminthes, kelas Trematoda, subkelas Digenea, Ordo Echinostomida dan termasuk ke dalam famili Fasciolidae. Dalam mekanisme daur hidup cacing hati, tidak akan terlepas dari morfologi tiap fase dari cacing hati tersebut. Hal ini untuk memudahkan dalam memahami alur sekaligus morfologi tiap fasenya. Secara umum alur siklus hidup dari cacing hati ini adalah Telur – Larva – Serkaria – Metaserkaria – Cacing dewasa. Berikut adalah penjelasan dari daur hidup fasciola hepatica, yaitu

  1. Telur
Larva Mirasidium

Telur  menetas  menjadi  larva  dengan  cilia  (rambut  getar)  di seluruh permukaan  tubuhnya  yang  disebut  mirasidium. Mirasidium yang baru menetas di feses akan terbawa hujan melalui siklus air hingga sampai aliran air. Mirasidium akan mencari inang baru, sasaran utamanya adalah para moluska terutama siput air tawar bercangkang seperti Lymnaea spp.

Larva mirasidium mempunyai kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput,  sehingga  terbentuk  larva  yang  banyak.  Setelah berada dalam tubuh siput, mirasidium akan  berubah menjadi sporosis.

Selanjutnya  sporosis  melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria. Lama yang dibutuhkan fase larva atau mirasidium ini adalah sekitar 10 – 12 hari. Pada inang alternatif Lymnaea spp., larva tidak bersifat parasit hanya sekedar menumpang tempat untuk melanjutkan fase selanjutnya. Hal ini juga disebabkan Lymnaea spp. memiliki resistensi tersendiri dari infeksi cacing hati tersebut. (baca juga klasifikasi mollusca)

  1. Serkaria
Metaserkaria

Metaserkaria merupakan bentuk perubahan dari serkaria setelah menemukan inang alternatif yaitu rerumputan, tumbuhan air dan tumbuhan di sekitar perairan yang lembab dan basah. Bentuk metaserkaria merupakan bentuk infeksi sejati dari cacing hati. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air.

Penampang dari kista ini terseliputi semacam membran yang kuat sehingga membuatnya dapat bertahan, fase kista ini juga bisa disebut sebagai fase dorman dari daur hidup cacing hati. Semua mamalia yang memakan rerumputan (hewan herbivora) tersebut akan terinfeksi cacing ini, termasuk sapi, kambing, bahkan manusia. Infeksi yang disebut fascioliasis ini dapat terjadi jika rerumputan tersebut tidak diolah dan dibersihkan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

  1. Cacing Hati Dewasa

Setelah metaserkaria ini masuk ke dalam sistem pencernaan melalui konsumsi tumbuhan atau rerumputan yang sebelumnya telah menempel kista. Kemudian metaserkaria akan keluar dari kista dan berubah menjadi cacing hati dewasa. Cacing dewasa ini kemudian akan menembus dinding pada bagian bagian usus halus, menuju rongga perut, dan mengincar hati sebagai tempat barunya. Cacing hati mempunyai ukuran tubuh yang cukup besar yaitu panjang antara 2.5 – 3 cm dan lebar antara 1 – 1.5 cm. Cacing F. hepatica berlaku sebagai parasit pada hati hewan, terutama hewan memamah biak. (baca juga daur hidup cacing perut)

Tubuh cacing hati dilapisi oleh lapisan kutikula yang bermanfaat untuk menjaganya agar tidak rusak saat masuk ke pencernaan inangnya. Selain itu, cacing ini juga mempunyai mulut yang berfungsi sebagai alat hisap nutrisi pada hati inangnya. Nutrisi tersebut digunakan cacing hati untuk dapat bertahan hidup. Cacing dewasa akan bereproduksi menghasilkan telur-telur baru yang akan menjadi agen dalam melanjutkan daur hidup dari F. hepatica. (baca juga daur hidup cacing tambang)

Infeksi dan Gejala

Infeksinya disebut fascioliasis yang merupakan salah satu masalah utama di bidang peternakan. Adapun infeksinya dapat mengakibatkan kerusakan hati ditandai dengan berat badan menurun drastis, nafsu makan berkurang dan pada kondisi parah seperti serangan pada kambing dan domba dapat mengakibatkan penyakit hati akut atau biasa disebut hepatitis parenkimatosa akut dan Cholangitis kronis.

Setelah menyerang organ hati, tahap selanjutnya cacing ini dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein, karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia dan menyebabkan kematian. Tingkat  infeksi  fascioliasis  bergantung  pada  jumlah  biakan F. hepatica yaitu metaserkaria yang tertelan dan infektivitasnya. Bila yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Manifestasi fascioliasis juga bergantung pada stadium infeksi yaitu migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu.

Pada hewan ternak gejalanya beragam, seperti contoh pada sapi  dan kambing yang  terserang  F. hepatica akan  tampak  pucat,  lesu,  mata membengkak, tubuh kurus, dan bulu kasar serta kusam atau berdiri. Hal ini karena F. hepatica yang masih muda merusak sel-sel parenkim hati dan cacing dewasa hidup sebagai parasit dalam pembuluh-pembuluh darah yang ada di hati, sehinngga sapi yang terserang mengalami gangguan fungsi hati, peradangan hati dan empedu, obstipasi, serta gangguan pertumbuhan. Secara umum,  bentuk  infeksi F. hepatica mengakibatkan gejala yang dibagi menjadi bentuk akut dan kronis.

  1. Gejala Akut

Infeksi F. hepatica bentuk akut disebabkan oleh invasi  cacing  muda yang terjadi secara  masif  dalam  waktu  singkat dan  merusak  parenkim  hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga peritoneum. Ternak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek, perut membesar disertai rasa sakit. Fascioliasis bentuk subakut kurang atau bahkan sama sekali tidak memperlihatkan gejala. Namun, pada waktu hewan tersebut dipekerjakan di sawah,  ditranportasikan,  serta  mengalami  kelelahan  dapat  mengakibatkan kematian  mendadak.

Fascioliasis  bentuk  kronis  terjadi  saat  cacing  mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infeksi dengan gejala anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membran mukosa pucat, diare, oedema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.

  1. Gejala Kronis

Fascioliasis  kronis berlangsung  lambat  dan  disebabkan  oleh  aktivitas  cacing dewasa  di  dalam  saluran  empedu,  baik  di  dalam  hati  maupun  di  luar  hati seperti pada bagian bagian lambung dan bagian paru paru. Pada pemeriksaan darah akibat fascioliasis akut ditemukan perubahan berupa anemia normokromik, eosinophilia, dan hipoalbuminemia. Pada penyakit yang berlangsung akut, daur hidup cacing belum sempurna dan telur cacing belum dihasilkan sehingga dalam pemeriksaan feses tidak terlihat adanya telur F. hepatica. Pada  fascioliasis gejala kronis  berupa anemia  yang  ditemukan  bersifat hipokromik, makrositik dan hipoproteinemia. Pada penyakit yang berlangsung subakut maupun kronis, feses selalu mengandung telur F. hepatica. Penemuan telur cacing tidak selalu dapat dikaitkan pada beratnya kerusakan hati.

Infeksi cacing hati ini pun dapat terjadi pada manusia lewat perantara makanan olahan hati dan empedu dari sapi, kambing dan domba. Infeksi ini menyerang pada sistem ekskresi hati manusia. Adapun gejala klinis yang disebabkan oleh F. hepatica pada manusia, yaitu yang paling tampak adalah anemia selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu 40-42 0C, nyeri di bagian perut dan gangguan sistem pencernaan pada manusia serta kelainan pada sistem ekskresi. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hematomegaliasites di rongga perut, gangguan pada sistem pernapasan pada manusia berupa sesak nafas dan gejala lain berupa kekuningan.

(baca juga keanekaragaman hayati di Indonesia)